Halaman

Senin, 07 Desember 2009

Secangkir susu panas yang tak terminum (Catatan hari pertama)

Akhirnya.
akhirnya dimulai juga tugas pertama saya untuk meng-update blog ini.
Ada beberapa hal yang membuat saya cukup berani untuk tersenyum hari ini, namun (bagian yang tidak saya sukai) ada juga hal yang membuat saya cukup mengernyitkan dahi untuk berpikir dimana salah saya? Ah, bertele-tele banget sih ni orang. Banyak bacot lu! Memang. Kalo gak bertele-tele dulu ngapain juga saya capek-capek nulis di blog ini?

Hal pertama yang membuat saya tersenyum gaboje-gaboje gitu (mengutip istilah seorang sahabat saya) adalah AS Roma memenangi derby de la capitale versus Lazio. Saya sampai bela-belain bangun jam 4 subuh hanya untuk menonton menit-menit terakhir pertandingan tersebut (padahal sebenarnya ga sengaja kebangun sih, hahaha). Dan syukurlah saya cukup beruntung untuk melihat satu-satunya gol yang dicetak oleh pemain tua yang (menurut saya) harusnya dijual untuk menjauhkan roma dari istilah klub pemain sampah. But anyway, gol itu cukuplah membuat saya bahagia (lebaii.com). Bahagia? Menang taruhan ya? Bukan saudara-saudara, sayangnya bukan. Saya masih punya cukup harga diri untuk menjauh dari yang namanya bertaruh (percayalah, bertaruh itu mungkin asik. Tapi coba anda jadi orang yang selalu kalah dalam 10 pertandingan berturut-turut!). Tapi semuanya hanya karena atau just because saya mencintai klub ini dari jaman saya SMP. Bahkan, karena sewaktu itu di kota saya baru ada satu stasiun radio yang setiap malam menyiarkan acara kirim-kirim salam hampir setiap malam, saya selalu mengirim SMS dengan nickname Kapten Totti hanya agar puisi-puisi cinta saya dibacakan oleh si penyiar. Puisi cinta? Ya, puisi cinta untuk cewek yang saat itu lagi saya taksir. Wah, kok jadi bernostalgila gini ya? Tapi intinya, di umur sekian saya sudah mengenal cinta, eh maksudnya di umur sekian saya sudah mengidolakan Francesco Totti yang dikenal sebagai Icon AS Roma. Bahkan saya pake namanya untuk nickname saya sebelum akhirnya saya ganti menjadi Ariel.
Oke, cukup dengan nostalgila saya. Kita lanjut? Yuuuk.. Percaya ga kalo saya bilang virus alay sudah cukup berbahaya penyebarannya sehingga sudah sebaiknya kita mulai memikirkan cara untuk membuat serumya? Anda percaya? Tidak? Bagus! Saya punya contoh. Tadi pagi saat saya tengah berjalan ke kampus dengan langkah gontai (karena mengantuk setelah begadang, sebenarnya) saya lihat seorang remaja pria dengan tatanan rambut panjang sebelah & muka acak-acakan yang saya yakin belum disentuh air, memakai kaos putih kucek bertuliskan " I Love My Sweatheart" dengan lambang LOVE besar di tengah-tengah kaosnya. What? Please deh! Cukup saya melihat alay-alay bergentayangan di facebook, dan sekarang saya harus melihat hasil karyanya langsung? Atau se-begitu kurang pengetahuan tentang bahasa inggris-kah sang desaigner kaos tersebut? I don't know. Mudah-mudahan the alay-an virus ini tidak berhasil menginfeksi 3 juta remaja kita yang masih waras. Amin.

Ngomong-ngomong soal alay, malam ini ada sebuah massage di facebook saya yang cukup membuat kesal & hati saya bertanya-tanya. Ada pesan dari salah satu sesepuh saya di kota asal saya. Sesepuh yang saya maksudkan disini adalah dia lebih dulu & lebih berpengalaman saat memulai karier sebagai anak band di kota asal saya. Awalnya begini, saya menginvite beberapa teman saya (termasuk dia) untuk bergabung menjadi penggemar band saya di facebook (linknya bisa dilhat disini : Band Gue) dan sayangnya saya secara unawared dan dengan kesilapan yang disesalkan ikut mengundangnya untuk bergabung. Dan tak berapa lama tibalah massagenya di inbox saya. Dia berkata,

" Halo riffan. Maaf kalau requestnya selalu abang tolak. Tapi sekarang kami lagi membangun sebuah scene indie di tal**(kota asal saya). Kami sedang gencar-gencarnya mendukung band-band seperti efek rumah kaca, pure saturday, endang soekamti dan seringai. Jad maaf, kami tidak mendukung band yang selalu mengikuti trend dan sedang in sekarang"

....
....
....
well cukup lama juga saya terdiam melihat massage ini. Oke, pilihan selera musik itu objektif dan tidak bisa dipaksakan. Tapi bro, kita dari satu daerah! Kenapa kita ga saling dukung saja sebagai teman dan tidak mengkotak-kotakkan musik dan support? Dulu saat band-band di kota saya mulai berkembang, mereka-mereka inilah yang mencetuskan supaya dibentuk persatuan band tal**, agar semua saling membantu dan meningkatkan kualitas musik bersama. Tapi saya melihat perkembangan musik di kota asal saya ini sudah mulai tidak kompetitif dan tidak sportif. Yang memilih indie, membuat gigsnya sendiri dan yang beraliran pop, pop rock (atau selera pasar seperti kata anak-anak indie) membuat festivalnya sendiri. Musik memang berbeda aliran sob, tapi kenapa harus memecahkan diri?? Kesal saya. Kesal kesal dan beribu kesal yang lain. Karena apa? Dari kata-kata "mengikuti trend" diatas, seolah-olah dia mengjudge band saya sebagai satu dari band-band alay yang lagi in sekarang! Maaf, tapi saya juga punya harga diri untuk menjauhkan band saya dari label alay. Dan jika saya bilang band saya indie, maka saya yakin genk-genk band indie daerah saya pun akan segera mencerca saya. Mereka beranggapan bahwa indie adalah suatu ideologi yang berlandaskan kebebasan, tidak mainstream, berbeda, tidak komersil dan bla bla bla. Oh, jadi indie ini ideologi ya? Sejak kapan musik jadi ajang adu ideologi? Memang, inilah anggapan mereka. Bahkan di sebuah forum diskusi facebook yang mengatakan kesuksesan band indie riau, Geisha yang berhasil menggebrak pasar dia protes. Maaf bung, Anda tidak bisa mengatakan geisha itu indie. Karena mereka sudah komersil dab alirannya terlalu lebay dan cengeng (4 kata terakhir ini saya buat dengan istilah saya sendiri, untuk mempersingkat pekerjaan tangan saya yang sudah pegal mengetik). Padahal dari diskusi yang saya dapat melalui internet, indie itu juga bisa berarti "kebebasan bermusik, dimana musisi itu berusaha semuanya dari bawah & dengan biaya independen"

setahu gw yah indie itu lebih ke cara kerja (standard operation procedure kurang lebih ...hueheuhu..) yg majority dipegang oleh artist itu sendiri. Musiknya? dari jazz, dang-dut, sampe rap, jg ada toh?
yg gw perhatikan, memang musisi yg go indie, kurang mendapatkan exposure jadi banyak yg masih katro' ttg ini. musisi indie yg sudah besar, kadang2 jg ganti label ke major publisher.
dan masing2 punya alasan masing2, seperti ..daripada idup ngutang terus, mending ada financial back-up dari record company yg gede. it's no longer about idealism ato creative song-writing ato bahkan konsep musiknya, cuman idup pada hakikatnya yah segitu dinamisnya. heran gw kenapa band2 yg pindah jalur sering di bad-mouth?

being indie ga ada hubungannya sama komersil bung!

indie = independen

independen = rekaman pake duit sendiri, bikin strategi promosi sendiri, cari orderan manggung sendiri

Gwe kok kurang setuju kalo dibilang indie gak ada hubungannya sama komersil.

Setau gwe, yang mendorong orang milih bergerak secara indie ketimbang sama major label biasanya ada dua:
- emang gak dilirik sama major label
- gak mau diatur-atur sama major label
(tolong tambahin kalo perlu)

Nah, dari kedua hal di atas, jelas banget kan kalo jalur indie itu kurang lebih tetap berhubungan ama yang namanya komersil.
dikutip dari kafegaul

Itu buktinya tidak semua orang beranggapan bahwa indie itu hanya ideologi extrim yang berlandaskan kebebasan dengan menyingkirkan & mendiskriminasikan aliran lain yang berbeda. Britpop juga ada yang bertema cinta. Bahkan punk juga. Jadi band-band itu mau dibilang cengeng & alay juga?
(akhirnya saya bisa serius juga!)

Gimana tulisan saya malam ini?
Cukup bermanfaat? Membuka pikiran? Lebay? Ga jelas? Ancur? Ga ngerti?
yah, karena itulah saya membuat blog ini.

0 komentar:

Posting Komentar